Yayang Nanda Budiman, S.H | ist |
Menghadapi gelombang disrupsi teknologi yang kian terdigitalisasi, media sosial tak hanya menjadi perangkat komunikasi, tetapi juga medan pertempuran bagi ideologi, politik dan gerakan sosial. Salah satu isu yang kerap mencuat ke permukaan linimasa media adalah isu korupsi, yang terus menjadi topik penting bagi masyarakat Indonesia.
Namun, apakah arus media sosial benar-benar berperan efektif dalam mendesain sikap anti-korupsi, atau justru sebaliknya?
Salah satu fokus utama media pasca reformasi adalah peran penegakan hukum, khususnya terkait dengan tindak pidana korupsi. Setiap hari, media sosial, menjadikan isu korupsi sebagai topik utama yang perlu diungkap dan diberitakan kepada publik.
Korupsi, sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia, merupakan tindak pidana luar biasa yang mempunyai dampak signifikan terhadap kondisi negara dan masyarakat. Peran pemberantasan korupsi merupakan tugas besar yang semestinya tak hanya menjadi menjadi tanggung jawab lembaga antirasuah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dalam konteks yang relevan saat ini, media sosial, dengan jutaan penggunanya, mempunyai andil besar untuk menjadi ruang alternatif memperjuangkan nilai-nilai anti-korupsi. Namun, pada realitanya ruang digital tak selalu berpihak pada gerakan anti-korupsi yang murni.
Media sosial, dengan sistem algoritma yang mempunyai pengaruh kuat dalam mendesain interaksi pengguna, seringkali menyajikan konten berdasarkan kecenderungan atau preferensi pribadi. Eksesnya, hal ini menciptakan ruang-ruang ideologi yang terfragmentasi, di mana antar kelompok dengan paradigma yang seragam saling menguatkan argumen mereka, sementara kelompok lain termarjinalkan. Seperti halnya ketika berbicara perihal korupsi, hal ini menimbulkan disparitas informasi yang berbahaya, yang tak hanya menghambat sirkulasi upaya pemberantasan korupsi, tapi juga memperburuk polarisasi di ruang digital.
Dilematika Algoritma Ruang Digital: Alat atau Hambatan bagi AntiKorupsi?
Salah satu bagian yang perlu dipahami dalam menggugat keberpihakan ruang digital adalah peran algoritma yang mengatur setiap interaksi media sosial saat ini. Media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook hingga Twitter (X) mempergunakan algoritma untuk menyajikan konten yang dianggap sesuai dengan minat dan kebiasaan pengguna. Kendati tujuan dari algoritma ini adalah meningkatkan pengalaman pengguna, dalam konteks pemberantasan korupsi, hal ini tak ubahnya pedang bermata dua.
Algoritma yang memfilterisasi konten berdasarkan preferensi pengguna seringkali menjadi indikator dalam memperkeruh polarisasi. Para pengguna yang mempunyai atensi terhadap anti-korupsi akan lebih banyak terpapar dengan konten-konten yang mengkritisi praktik korupsi, sementara mereka yang lebih cenderung mendukung status quo atau bahkan terlibat dalam perilaku koruptif akan terisolasi dalam ruang yang memperkuat sikapnya. Hematnya, media sosial menjadi ruang yang meneguhkan bias konfirmasi, bukan media untuk membangun dialog yang sehat tentang isu sentral dan krusial seperti korupsi.
Secara hukum, situasi ini kian menciptakan ambang paradoks dengan prinsip keadilan, akuntabilitas dan transparansi. Namun, algoritma media sosial seringkali tak memberikan ruang khusus bagi keterbukaan informasi secara penuh. Mereka lebih memilih untuk memperlihatkan informasi yang telah dipersonalisasi, yang bisa saja tak merefleksikan kebenaran secara objektif.
Sebagai upaya mengoptimalkan kampanye anti-korupsi di ruang digital, hal ini tentu akan sangat berbahaya, karena dapat memperburuk mis-informasi, rentan framing dan memanipulasi cara pandang publik terhadap isu tertentu.
Ilusi Inklusivitas Ruang Digital: Antara Kebebasan dan Keberpihakan
Tak terlepas dari realitas bagaimana desain kepentingan ekonomi mempengaruhi arus ruang digital, pertanyaan penting yang harus publik ungkapkan saat ini adalah: Apakah narasi ruang digital yang inklusif dan demokratis benar-benar nyata atau jargon belaka? Terlebih terhadap isu yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi atau justru menjadi eksklusif dalam mendukung kelompok tertentu?
Harapan soal inklusivitas ruang digital semestinya berarti memberikan sarana bagi semua jenis pandangan untuk terlibat dalam diskursus yang konstruktif perihal pemberantasan korupsi. Namun sangat disesalkan, jika faktanya, media sosial seringkali justru merancang ruang-ruang yang terfragmentasi, di mana suara kontra yang tak sejalan dengan kelompok dominan kerap dibungkam dan dilenyapkan.
Dalam banyak kasus relevan, kelompok yang mempunyai power atau kepentingan politik tertentu dapat dengan mudah memperalat iklim media sosial untuk menyebarluaskan narasi mereka, bahkan dengan memanfaatkan kekuatan buzzer dan influencer pesanan untuk melegitimasi kebijakan buruk dan praktik korupsi yang telah mereka lakukan. Sedang di sisi lain, mereka yang berupaya menyuarakan penolakan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan seringkali terkendala oleh algoritma yang tak mendukung atau bahkan dikonfrontasikan secara langsung dengan akun-akun yang mempunyai kepentingan tertentu. Media sosial yang idealnya menjadi ruang inklusif, pada faktanya seringkali terjebak dalam eksklusivitas yang semakin memperkeruh keadaan.
Keberpihakan ruang digital dalam membangun sikap anti-korupsi tak dapat dipandang dengan mata telanjang. Media sosial, kendati mempunyai peluang besar untuk menjadi media kampanye pemberantasan korupsi, seringkali gagal melaksanakan perannya secara adil dan transparan.
Oleh sebab itu, guna memastikan bahwa ruang digital dapat benar-benar berperan dalam pemberantasan korupsi, diperlukan regulasi yang tegas dan pengawasan yang optimal, serta partisipasi aktif dan masyarakat dalam membentuk iklim ruang digital yang inklusif dan mendukung prinsip anti-korupsi.
Ruang Digital: Aliansi atau Pengkhianatan terhadap Gerakan Anti-Korupsi?
Di tengah gemuruh revolusi digital, media sosial muncul sebagai alat utama dalam pertempuran ideologi, politik, dan sosial. Namun, apakah ruang digital benar-benar mendukung gerakan anti-korupsi, atau justru memperburuk keadaan?
Dalam tulisan ini, penulis menggugat keberpihakan ruang digital yang terfragmentasi, yang seharusnya menjadi medan perjuangan kolektif untuk memberantas korupsi.
Media sosial, dengan algoritma yang dirancang untuk memperkuat preferensi pribadi, justru menciptakan ruang-ruang ideologi yang saling menguatkan dan meminggirkan pandangan yang berbeda.
Praktik ini semakin memperburuk polarisasi, membuat upaya pemberantasan korupsi semakin terkekang. Ironisnya, media sosial yang berpotensi besar menjadi ruang kampanye anti-korupsi seringkali malah memperburuk penyebaran misinformasi dan manipulasi opini publik. Keterbukaan informasi yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi digital terancam tergantikan oleh filterisasi konten yang semakin memperburuk polarisasi.
Dalam kenyataan ini, ruang digital yang mestinya inklusif justru seringkali terjebak dalam eksklusivitas. Kekuatan politik dan ekonomi seringkali memanfaatkan media sosial untuk memperkuat narasi mereka, bahkan dengan memanipulasi opini melalui buzzer dan influencer. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang ketat serta pengawasan yang transparan agar ruang digital bisa benar-benar menjadi alat untuk memajukan nilai-nilai anti-korupsi, bukan malah menciptakan hambatan bagi gerakan tersebut.
Penulis: Yayang Nanda Budiman, S.H
Penulis merupaka seorang Lawyer Intern & Legal Content Writer.
Ikuti berita terkini dari Kabar Center di Google News, klik di sini