Notification

×

Iklan

Iklan

Merosotnya Karakter Remaja di Tengah Eksistensi Digital

Jumat, 12 Juli 2024 | 18:46 WIB Last Updated 2024-07-12T11:46:31Z
Sumber foto: keeppack.id


Di era digital seperti saat ini, tantangan dalam pendidikan karakter semakin kompleks karena pengaruh teknologi dan media sosial yang begitu besar. Terdapat berbagai macam penyimpangan karakter siswa yang dapat terjadi, seperti penyalahgunaan teknologi dan media sosial, perilaku bullying dan cyberbullying, serta kecenderungan individualisme dan materialisme. 

Semua tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menekankan pentingnya kebersamaan, persatuan, dan solidaritas sosial.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki lima nilai dasar. Ketika siswa melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dapat dikatakan bahwa karakter mereka mengalami penyimpangan.

Penyimpangan karakter yang melibatkan kalangan remaja, dimulai dari siswa SMP, SMA bahkan usia anak-anak atau SD dalam melakukan penyalahgunaan teknologi, ini dikarenakan anak-anak sudah dibebaskan menggunakan alat teknologi berupa gadjet dengan pengawasan yang minim, dan remaja yang tidak banyak diantara mereka yang memanfaatkan untuk hal positif.

Melemahnya karakter remaja, selain dalam penyalahgunaan internet yang mengakses konten tidak baik, melanggar aturan sekolah berupa bolos sekolah, tidak mengerjakan PR/tugas sekolah, tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar pada jam pembelajaran tertentu dan tidak mengikuti upacara, dan terkait pegaulan bebas yaitu berpenampilan tidak sesuai dengan umur, keluar/pulang ke rumah larut malam dan bergaul dengan lawan jenis tanpa adanya batasan.

Masalah karakter pada remaja, paling krusial ditunjuk dari terjadinya perundungan yang dilakukan oleh sejumlah siswa kepada siswa lainnya yang dianggap lemah sampai menimbulkan luka fisik dan batin. Hal ini sering terjadi di masa SMP dan SMA. Sampai-sampai terdapat film Indonesia yang mengangkat tema tentang bullying. 

Remaja yang suka membully biasanya mereka yang merasa sok berkuasa di sekolah tersebut. Mereka membully anak-anak yang dianggap lemah seperti anak miskin, anak cupu dan lain-lain. Selain itu karena adanya unsur iri dari pihak si pembully, misalnya iri karena dia lebih pintar atau lebih cantik. Kasus bullying ini jangan pernah dianggap sepele karena banyak korban yang jadi trauma, baik trauma fisik maupun batin bahkan ada yang sampai bunuh diri. 

Perilaku bullying yang paling banyak terjadi yakni dalam bentuk ejek-ejekan nama orang tua, ejek-ejekan nama panggilan, menyebar gosip melalui situs jejaring sosial, menginjak kaki dengan sengaja, menyenggol bahu dengan sengaja, perpeloncoan dengan teman, aksi senioritas dan bahkan perkelahian antar siswa.

Fenomena Bullying di Indonesia memang kerap terjadi baik di lingkungan sekolah formal maupun non formal. Menurut penelitian terdahulu kasus bullying yang sering terjadi sekitar 73% dalam bentuk kekerasan, pemerasan, mengancam dan mengambil barang-barang, selebihnya merupakan kasus bullying dalam bentuk yang lain seperti cyber bullying (Winarni & Lestari, 2016).

Hal ini tidak hanya terjadi di Negara kita saja tetapi berdasarkan data dari National Center for Education Statistics (NCES), pada tahun 2019 sekitar 20,2% siswa di Amerika Serikat juga mengalami bullying secara fisik, sedangkan 53,2% siswa mengalami bullying secara verbal. Selain itu, 15,5% siswa juga melaporkan bahwa mereka mengalami cyberbullying (Burns et al., 2022) sehingga tingginya angka bullying ini mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan mental siswa, seperti kecemasan, depresi, dan bahkan dapat menyebabkan pikiran untuk melakukan tindakan bunuh diri. 

Selain itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Hinduja & Patchin (2014) terdapat sekitar 28% mengatakan bahwa mereka telah menjadi korban cyberbullying di beberapa titik dalam hidup mereka. Sekitar 16% mengaku pernah melakukan cyberbullying kepada orang lain selama hidup mereka. 

Kemudian secara nasional dari sekitar 5.700 siswa sekolah menengah dan atas di Amerika Serikat, 33,8% mengatakan bahwa mereka telah ditindas secara maya selama hidup mereka, sementara 16,9% mengatakan bahwa mereka telah ditindas secara maya dalam 30 hari sebelumnya. 

Sehubungan dengan menyinggung, 11,5% mengungkapkan bahwa mereka telah melakukan cyberbullying kepada orang lain selama hidup mereka, sementara 6,0% mengaku melakukannya dalam 30 hari terakhir.

Terjadinya peristiwa ini merupakan tindakan yang sangat negative dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, seperti Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Faktor penyebab terjadinya masalah karakter remaja dari eksistensi digital ini adalah rendahnya control diri/ kesadaran diri remaja, nilai-nilai keagamaan cenderung kurang, gaya hidup yang kurang baik, rendahnya taraf pendidikan keluarga, keadaan lingkungan keluarga yang kurang harmonis, minimnya perhatian orang tua, pengaruh teman sebaya dan pengaruh internet. 

Oleh karena itu, peran orang tua dan pendidik sangat penting dalam membantu siswa memahami arti penting dari nilai-nilai Pancasila dan menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Upaya kolaboratif antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Sekolah harus dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif untuk membangun karakter siswa, sementara orang tua dan masyarakat harus membantu mendukung dan mengawasi perkembangan karakter siswa di rumah dan di lingkungan sekitarnya. 

Dengan kerja sama yang baik antara semua pihak, pendidikan karakter di era digital dapat diimplementasikan dengan baik, sehingga generasi muda Indonesia dapat menjadi generasi yang memiliki nilai moral yang baik dan dapat mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan baik pula. Hal demikian bermaksud untuk mencegah terjadinya penyimpangan karakter dan tidak melemahkan karakter yang memiliki jiwa pancasila.

Oleh: Atiqah Revalina, M.Pd

Ikuti berita terkini dari Kabar Center di Google News, klik di sini