Ilustrasi dampak El Nino |
Kabar Center
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan polusi di wilayah perkotaan, khususnya Jakarta dalam beberapa waktu terakhir semakin signifikan akibat fenomena El Nino. Terlebih, El Nino membuat musim kemarau di Indonesia tahun ini lebih panjang dibandingkan 3 tahun sebelumnya.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengungkapkan, El Nino semakin pesat dikarenakan laju kenaikan suhu bumi akibat perubahan iklim. Dampaknya juga semakin nyata dirasakan masyarakat seperti halnya polusi.
“Semakin pesatnya laju kenaikan suhu yang juga berdampak di berbagai kondisi degradasi atau permasalahan lingkungan, termasuk hari ini antara lain peningkatan pada semakin signifikannya polutan yang kita rasakan dengan adanya musim kemarau yang kering ini sebagai dampak dari El Nino,” kata Dwikorita dalam seminar secara virtual, Selasa (22/8/2023).
Ia melanjutkan, mengatakan selama 3 tahun terakhir, polusi tidak begitu terasa di perkotaan karena terjadi kemarau basah akibat La Nina.
“Sehingga semakin terasa betapa menyiksanya polutan yang selama ini mungkin tidak begitu terasa karena kita memiliki, masih memiliki banyak hujan selama 3 tahun terakhir ini akibat La Nina,” ucapnya.
“Jadi musim kemaraunya kemarau basah, sehingga polutan-polutan tersebut sebetulnya ada, tetapi tampaknya semakin mudah tercuci. Namun kali ini karena kering makin terasa,” katanya.
Dwikorita mengungkapkan, dampak perubahan iklim memang benar-benar nyata. Tidak hanya di puncak gunung, bagaimana salju abadi di Puncak Jaya terus mencair. Namun, juga di perkotaan semakin terasa, bagaimana siksaan dampak perubahan iklim juga akibat dari polusi yang ditimbulkan oleh manusia sendiri.
Oleh karena itu, Dwikorita mengajak bersama-sama menyadari betapa pentingnya terus menjaga mengendalikan laju kenaikan suhu dengan cara terutama mentransformasikan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan.
“Kami usulkan pula, kami rekomendasikan pula di dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional, bukan hanya program untuk peringatan dini. Namun, di situ belum dituliskan perlunya program secara lebih sistematis untuk observasi monitoring parameter-parameter lingkungan,” kata Dwikorita.
“Jadi kita tidak bisa langsung bahasa Jawa-nya, ujug-ujug, ujug-ujug itu tiba-tiba, memberikan peringatan dini tanpa didukung oleh systematic observation, sistematik continuous monitoring program ini sangat vital demi mewujudkan analisis kesimpulan yang tepat dan peringatan dini yang cepat tepat dan akurat,” ujarnya. (Okz/kc5)
Ikuti berita terkini dari Kabar Center di Google News, klik di sini