Sumber foto: Kemensos.go.id |
Kabar Center - Sukabumi
Kampung Sinagar, suatu daerah yang berada di kaki Gunung Pangrango dan dikenal dengan cita rasa kopinya yang nikmat. Bukan hanya nikmat, aroma kopinya juga cukup harum.
Kopi Sinagar namanya sepertinya mewakili nama daerahnya. Sejak berabad silam, semerbak harum kopi dari Kampung Sinagar sudah tercium jauh hingga ke daratan Eropa.
Konon kehadiran kopi di kampung ini memang tidak lepas dari eksistensi kolonial Belanda. Demikian mengutip siaran pers di situs kemensos, Rabu (21/04).
Ratusan tahun sejak dibudidayakan di Kampung Sinagar, kini kopi masih bertahan di sini. Belakangan pengelolaan kopi di Kampung Sinagar bergerak makin sistematis, inovatif dan kompetitif.
Kemajuan hasil kopi di Kampung Sinagar ternyata tak lepas dari sentuhan tangan seorang perempuan tangguh. Perempuan itu namanya Nurmadanis (36).
Sejak 2013, Nurmadis aktif bergerak meyakinkan tetangganya di Kampung Sinagar, Desa Nagrak Utara, Kabupaten Sukabumi. Ia datang dari pintu ke pintu, menggugah kesadaran masyarakat.
Sasarannya masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap ataupun putus sekolah. Dan tentu saja para perempuan dan keluarga prasejahtera.
Nurma, nama panggilannya, lama merasakan ketidakberdayaan masyarakat sekitarnya.
Mereka kerja banting tulang, namun tak juga lepas dari kemiskinan. Salah satu sebabnya adalah karena penguasaan oleh tengkulak.
“Miris melihat para petani di wilayah ini. Hasil buminya dijual ke tengkulak dengan harga yang murah,” ungkap Nurma.
Dari sana, perempuan penyuluh sosial ini, berpikir keras. Nurma kemudian gencar memberikan penyuluhan sambil menggerakkan kelompok tani, sejak tahun 2019.
Nurma memberikan pengertian bahwa kopi memiliki daya jual tinggi apabila diolah dengan baik.
Awalnya proses pengolahan kopi masih dilakukan secara manual dan ditumbuk.
Nurmadanis bersama pemuda Karang Taruna berpacu agar kopi Sinagar berkembang, lebih besar dan yang lebih penting lagi bagaimana bisa lebih menyejahterakan.
Akhirnya, dilakukan pendampingan oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Riset dan Teknologi mengenai potensi Kampung Sinagar termasuk di dalamnya pemberdayaan keluarga dan pemberdayaan perempuan.
Dari proses tersebut, Kampung Sinagar memeroleh bantuan berupa mesin roasting, pengupas kering dan pengupas basah.
Dengan demikian, kebutuhan konsumen dapat terpenuhi relatif lebih cepat. Sejak itu, Nurma memprakarsai pengelolaan kopi oleh petani sendiri.
Ia juga tak segan menggandeng Karang Taruna untuk mendirikan dan mengelola kedai. Hingga didirikanlah Kedai Kopi Sinagar oleh Deris Mulyana (biasa dipanggil Kang Deris). Perlahan tapi pasti, warga setempat mulai melihat jalan untuk bangkit.
Para petani kopi yang aktif dan bergabung dalam pembinaan kelompok tani. Salah satunya adalah Eha Julaeha (58). Eha dibantu oleh putri pertamanya, Nia Kurniasih (38) fokus menyediakan bahan pokok kopi untuk dipasarkan.
Kopi dari hasil kebun mereka terus dijaga kualitasnya salah satunya dengan hanya menggunakan pupuk organik. Bahkan kopi produksinya telah mendapatkan sertifikasi dan mampu menghasilkan kopi sebanyak 100 kg saat panen raya.
“Kita tidak mau abal-abal. Minimal punya nilai plus dan tidak dibohongi tengkulak. Kini sudah ada Depkes dan sertifikat halal dari MUI tinggal mengembangkan lahan karena PO yang kami terima melebihi ketersediaan,” ungkap Nia.
Keunggulan kopi Sinagar tidak bisa dipandang sebelah mata. Terbukti sebelum pandemi, kopi Sinagar telah diekspor beberapa kali ke Amsterdam, Australia dan Lebanon.
Nurma, para perempuan di kampung Sinagar dan perempuan lainnya di pelosok negeri, yang bervisi transformatif dan bergerak menembus sekat, merepresentasikan spirit Kartini maju dan berkeadaban. (*)
Ikuti berita terkini dari Kabar Center di Google News, klik di sini