Gunung berapi | shutterstock |
Kabar Center - Jakarta
Sekitar 8 gunung berapi di Indonesia berpotensi memicu gelombang tsunami. Hal itu disampaikan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati melalui keterangan tulis, Sabtu (24/4).
Namun, pihaknya khawatir, karena belum ada alat untuk mendeteksi peringatan dini.
"Kekhawatiran kami, tsunami akibat erupsi gunung api, sedangkan sistem peringatan dini tidak ada link dengan gunung api, karena berada di bawah ESDM. Jadi kami tidak punya data sama sekali. Kurang lebih masih ada delapan gunung api yang berpotensi tsunami yang datanya sama sekali tidak dimiliki BMKG,” ungka Dwikorita.
Menurutnya, hal yang paling krusial saat ini adalah terbatasnya jumlah peralatan monitoring gempa bumi nontektonik (karena erupsi gunung api, longsor laut, dan sebagainya), mengingat banyaknya gunung api dan potensi longsor di laut Indonesia yang dapat menimbulkan tsunami, seperti Tsunami Selat Sunda dan Palu 2018.
Masalah lainnya, adalah data monitoring gunung api laut/pada pulau kecil yang belum terintegrasi secara optimal ke dalam Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami di BMKG. Pemantauan data tersebut dilakukan oleh lembaga yang terpisah, yaitu oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang berada di bawah Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Terpisahnya lembaga ini, menurut Dwikorita, berdampak fatal saat kejadian Tsunami Non Tektonik di Selat Sunda yang diakibatkan oleh erupsi gunung api yg memicu longsor laut, yang tidak dapat terpantau oleh BMKG.
Sebagai lembaga penyedia peringatan dini, BMKG dapat merujuk pada contoh baik dari Japan Meteorological Agency (JMA) yang melakukan monitoring gempa bumi, gunung api, dan cuaca di dalam satu lembaga.
Selain itu, juga adanya gap dalam rantai peringatan dini di bagian hilir untuk masyarakat. Informasi Peringatan Dini yang sampai ke daerah melalui BPBD/Tim Siaga Bencana, ternyata tidak selalu diikuti respons yang memadai.
“Dalam hal ini perlu disiapkan rencana kontigensi dan SOP yang jelas oleh pemerintah daerah dengan dukungan Kementerian Dalam Negeri dan BNPB yang merupakan focal point yang mengkoordinasikan penanggulangan bencana serta komponen kultur dalam Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami, sesuai dengan Peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku,” katanya.
Sementara itu, data BMKG mencatat sejak 2008 hingga 2016 rata-rata kajadian gempa di Tanah Air sebanyak 5.000-6.000 kali dengan berbagai kekuatan dalam setahun. Namun pada 2017 kejadian gempa bumi meningkat menjadi 7.169 kali, bahkan pada 2018 dan 2019 menjadi lebih dari 11.400 kali.
BMKG, tambah Dwikorita mencatat pada 2020 kejadian gempa bumi masih di atas rata-rata tahunan yaitu 8.258 kali. Awal 2021 tercatat selama Januari telah terjadi 662 kali, melampaui kejadian gempabumi rata-rata bulanan yang berkisar antara 300 sampai 400 kali kejadian.
“Fakta situasi ini menjadi alarm bagi kita semua untuk segera melakukan Peningkatan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di daerah dan di masyarakat, agar Zero Victims dapat benar-benar terwujud," pungkasnya. (Lp6/mdk)
Ikuti berita terkini dari Kabar Center di Google News, klik di sini